Opini
Desember 30, 2019
Opini
0
komentar
Selamat Tinggal Mitos
Oleh M. Zainuddin *)
BARU saja kita menyaksikan gerhana matahari cincin, Kamis (26/12), di beberapa wilayah di Indonesia. Sebelumnya, pada 9 Maret 2016, juga terjadi gerhana matahari total (GMT).
Pada beberapa dasawarsa lalu, gerhana dipahami sebagai sebuah mitos. Kebanyakan awam menyikapi gerhana dengan ketakutan, tidak keluar rumah. Bahkan, ibu-ibu hamil diinstruksikan untuk bersembunyi di kolong ranjang. Sebab, lagi-lagi secara mitis (bukan mistis), jika ibu hamil pergi ke luar rumah, berdampak jabang bayi yang tidak normal karena dimakan buta atau Batara Kala.
Pemerintahan Soeharto pernah memolitisasi fenomena tersebut dengan melarang masyarakat untuk melihat langsung GMT. Tujuannya, menguji kepatuhan rakyat terhadap rezim, dan ternyata ampuh. Bahkan, Gus Dur saat itu menilai ketakutan pada GMT lebih masif di tingkat pejabat dan kelompok profesional.
Kini peristiwa dalam siklus puluhan tahun tersebut menjadi berbeda. Pemerintah justru mengajak masyarakat untuk menyaksikan kegelapan eksotis dan spektakuler tersebut.
Dari Mitos Menuju Logos
Kenyataannya, memang tak dapat dimungkiri, praktik mitos itu terjadi di masyarakat. Mitos sudah menjadi bagian dari proses kehidupan dari zaman ke zaman. Sebaliknya, ilmu selalu berkembang hingga sekarang. Dari tahapan yang paling mitis, pemikiran manusia terus berkembang hingga sampai pada suprarasional. Meminjam terminologi Peursen, dari yang mitis, ontologis, hingga fungsional. Sedangkan menurut Auguste Comte, dari yang teologis, metafisik, hingga positif.
Menurut Comte, tahap berpikir dimulai dari kepercayaan terhadap sesuatu yang gaib, yang memiliki kekuatan supranatural (teologis). Segala mara bahaya, penyakit, bencana, kematian, dan seterusnya datang dari kekuatan gaib (Tuhan). Maka, untuk menolak dan menjauhkan diri dari mara bahaya tersebut, perlu mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara membuat sesaji dengan memanjatkan segala puja dan puji yang dipersembahkan kepada-Nya (metafisik). Namun, seiring dengan perkembangan berpikir manusia dan semakin tidak menjaminnya mitos itu menjadi solusi problem kemanusiaan, juga dengan semakin majunya zaman (modern), mitos itu lambat laun ditinggalkan dan beralih pada berpikir positivistik dan ilmiah.
Pada zaman Yunani kuno juga berkembang mitos, sebelum munculnya berpikir rasional-logis. Baru pada abad ke-6 SM hingga awal abad pertengahan atau + 600 SM hingga 200 SM, mitos-mitos yang berkembang digantikan dengan logos setelah tidak dapat lagi menjawab dan memecahkan problem-problem kosmologis. Pada tahap itu, bangsa Yunani mulai berpikir tentang berbagai fenomena alam yang begitu beragam, meninggalkan mitos-mitos untuk kemudian terus meneliti berdasar reasoning power.
Contohnya, persepsi orang-orang Yunani terhadap pelangi. Dalam masyarakat tradisional Yunani, pelangi dianggap dewi yang bertugas sebagai pesuruh bagi dewa-dewa lain. Tetapi, bagi mereka yang sudah berpikir maju, pelangi adalah awan sebagaimana yang dikatakan oleh Xenophanes atau pantulan matahari yang ada dalam awan seperti yang dikatakan Pythagoras (499–420 SM).
Di era Nabi Muhammad SAW, mitos juga terjadi pada masyarakat jahiliah. Mereka menganggap gerhana matahari terjadi karena kematian Ibrahim, putranya. Seketika itu juga nabi menolak. Bahwa matahari dan bulan merupakan tanda-tanda kebesaran Allah, tidak ada hubungan antara kematian seseorang dan gerhana tersebut.
Paradigma Sains Islami
Kini kita perlu berpikir terus tentang kelangsungan perkembangan ilmu. Lebih-lebih ilmu sebagai proses yang menggambarkan aktivitas manusia dan masyarakat ilmiah yang sibuk dengan kegiatan penelitian, eksperimen, ekspedisi, dan seterusnya untuk menemukan sesuatu yang baru. Formulasi-formulasi yang telah diperkenalkan oleh para ilmuwan pendahulu kita hendaknya diaktualisasikan untuk kemudian dikembangkan lebih lanjut atau bahkan perlu improvisasi. Karena itu, proses pendidikan, harus digalakkan terus dalam berbagai disiplin ilmu. Proses pendidikan itulah yang oleh Islam selalu ditekankan (QS Ali Imran 190), belajar terus-menerus sepanjang hidup (life long education) seperti yang disebut dalam kata hikmah uthlub al-‘Ilma min al-mahdi ila ‘l-lahdi, carilah ilmu dari buaian hingga ke liang kubur.
Bahwa ilmu memiliki arti yang sangat penting bagi kehidupan, tidak seorang pun mengingkarinya. Bahkan, hampir seluruh aktivitas manusia tidak terlepas dari apa yang disebut dengan ilmu. Karena pentingnya ilmu itu pula, Alquran begitu sering menyinggungnya, demikian pula hadis. Menurut kata bijak, ”Barang siapa mengharapkan dunia, maka harus dengan ilmu. Dan barang siapa yang mengharapkan akhirat, maka harus dengan ilmu. Dan barang siapa yang mengharapkan keduanya (dunia dan akhirat), maka harus dengan ilmu.”
Ayat-ayat Alquran merupakan pernyataan normatif yang harus dianalisis untuk diterjemahkan ke dalam level objektif (baca: dibumikan). Ia harus dirumuskan dalam bentuk teoretis. Sebagaimana kegiatan analisis data yang dapat menghasilkan konstruksi-konstruksi, demikian pula analisis terhadap konstruksi-konstruksi teoretis Alquran tersebut, juga harus dilakukan. Elaborasi terhadap konstruksi-konstruksi teoretis Alquran itulah yang pada hakikatnya –menurut istilah Kuntowijoyo– merupakan kegiatan Qur’anic theory building yang pada gilirannya akan melahirkan paradigma Alquran. Fungsinya, membangun perspektif Alquran dalam rangka memahami realitas. Ilmu merupakan dasar berpijak bagi seseorang untuk berbuat dan, lebih dari itu, mengembangkan dirinya sehingga kadar kualitas manusia dan pengembangan kepribadiannya akan bergantung kadar keilmuannya.
Gerhana matahari di satu sisi merupakan peristiwa alamiah siklus tahunan sekaligus the miracle of God yang harus disyukuri. Pemahaman seperti itu mengandung konsekuensi bahwa peristiwa alamiah perlu mendapatkan perhatian setiap muslim melalui perenungan (tadabur) bahwa Tuhan menciptakan alam ini bukan tanpa tujuan, melainkan melalui konsep teleologis (by designed) yang luar biasa menakjubkan. Penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang itu merupakan tanda kebesaran Allah (the miracle of God) bagi orang yang berilmu dan mau berpikir. Dalam konteks peristiwa GMT ini, umat mesti merenung dan introspeksi bahwa Allah Maha Mengetahui dan Bijaksana. Sehingga ujung dari perenungan dan ilmu itu adalah iman dan amal salih. Maka, jika kita menjumpai peristiwa gerhana itu, disunahkan salat Kusuf Al Syams. Ilmu dalam perspektif Islam berangkat dari basmalah dan berujung hamdalah sebagaimana firman-Nya: Rabbana ma khalaqta haza bathila subhanaka fa qina ‘azab al-nar.
Dalam Islam, strategi pengembangan ilmu juga didasarkan pada perbaikan dan kelangsungan hidup manusia untuk menjadi khalifah di bumi (khalifah fil ardh) dengan tetap memegang amanah besar dari Allah SWT. Karena itu, ilmu harus selalu berada dalam kontrol iman. Dengan demikian, yang terjadi adalah ilmu amaliah yang berada dalam jiwa muthmainnah. Dengan begitu, teknologi sebagai produk dari ilmu akan menjadi barang yang bermanfaat bagi umat di sepanjang masa. Dan inilah yang mesti menjadi tanggung jawab ilmuwan muslim. (*)
*) M. Zainuddin, Guru besar sosiologi agama UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
0 komentar: